Matahari di Unhas mulai menyeruak menyinari pagi yang hangat, Jum’at (11/2). Saya beserta beberapa rekan wartawan bergerak menuju kawasan kera-kera Universitas Hasanuddin. Setelah melewati Laboratorium Fakultas Peternakan, akhirnya saya bersama rombongan sampai di dermaga yang menghubungkan kami menuju Desa Lakkang, Kecamatan Tallo.
Di dermaga, Hadrianti HDLasari beserta rekan yang lain pun bergabung dengan beberapa orang dari Dinas Pariwisata, Pemerintah setempat dan beberapa Tentara yang akan melakukan survei. Belakangan desa ini menarik perhatian bagi stake holder. Pasalnya, selain menjadi desa wisata di kota Makassar yang sumpek, desa ini menyimpan situs berharga, peninggalan pemerintah Jepang.
Beberapa menit kemudian, kami pun menaiki sebuah perahu yang dapat memuat sepuluh penumpang dan 3-4 kendaraan bermotor roda dua. Sekira tiga puluh menit kami melewati bantaran sungai Tallo. Beberapa perahu nelayan tampak melintas, menandakan keberadaan aktivitas nelayan di desa itu. Suasana penyeberangan seperti ini pun menjadi kesan yang langka. Di tengah hiruk pikuk kota Makassar yang sibuk, ternyata masih ada tempat yang nature laiknya Desa Lakkang.
Memasuki desa ini, di setiap sudut, mata tak dapat terlepas dari gelas dan botol-botol plastik yang bergelantungan. Kedua sampah plastik tersebut menjadi hiasan rumah-rumah warga. Ada yang memanfaatkannya sebagai pot bunga di sepanjang pagar rumah, adapula yang sekadar menjadikannya penghias jalanan. Uniknya, tak hanya satu rumah yang demikian, tapi setiap rumah yang saya temui khas dengan gelas dan botol plastiknya. Terlihat jelas bila warga mendaur ulang sampah plastik mereka.
Lakkang-Desa wisata yang tergolong komplit. Selain biaya yang murah, berwisata di desa ini juga memberikan iklim pendidikan yang memadai bagi pengunjungnya. Di desa yang memiliki luas 168 hektar ini menyimpan bukti sejarah penjajahan Jepang. Belakangan mencuat, di daerah yang berpenghuni 157 Kepala Keluarga ini menyimpan tujuh bungker peninggalan jepang.
Secara fisik, hanya ada empat bungker yang dapat ditemui. Namun, berkat penuturan warga Jepang yang beberapa bulan lalu mengadakan acara romantisme ulang tahun, sekaligus mengenang masa ketika ia menjadi prajurit, terkuaklah bahwa di desa Lakkang terdapat tujuh buah bungker yang memiliki fungsi yang berbeda.
“Sejak di Sekolah Dasar, saya suka bermain Gendrang Bulo di dalam Siteling (bahasa makassar yang berarti tempat bersembunyi),” ungkapnya semangat. Begitulah H Rahing (45) mengenang masa-masa kecilnya. Kala itu, ia dapat dengan mudah masuk ke dalam salah satu bungker. Namun, sayang, kini bungker tersebut telah tertimbun oleh pasir dan sampah. Menurutnya, bungker tersebut dapat memuat 10 orang dan memiliki luas 5x2 meter persegi.
Tujuh buah bungker tersebut disinyalir menjadi benteng pertahanan kecil-kecilan bagi tentara Jepang yang saat itu sedang menghadapi Belanda. Salah satu bungker yang diapit oleh dua bungker lainnya diperkirakan menjadi tempat peristirahatan bagi tentara Jepang saat itu. Ukurannya yang lebih besar daripada bungker yang lain dinilai menjadi tempat berkumpulnya tentara. Dan bungker ini diperkirakan terbagi dua menjadi dua bungker yang dapat memuat hingga 50 orang.
Dua bungker di sayap kanan dan sayap kiri diduga menjadi titik peletakan senjata. Di kedua sisi inilah diletakkan alat persenjataan dimana moncongnya menghadap kota Makassar yang ditujukan untuk melakukan penyerangan. Bungker di sayap kanan memiliki ukuran lebih besar dan dapat menampung 10-15 orang. Sedangkan bungker di sayap kiri hanya dapat dihuni dua orang saja. Maklum bungker di sayap kiri ini hanya untuk penembangan senjata berupa meriam. Dan merupakan tempat untuk pemasangan persenjataan.
Benteng kecil-kecilan ini juga memiliki gudang logistik. Salah satu bungker tersebut berada di antara rumah warga. Konstruksi fisik bungker logistik ini masih tampak. Tembok masih terlihat dengan jelas. Namun, dua tangga penghubung untuk memasuki bungker ini tertimbun tanah. Menurut Daeng Nyampa (60), di bungker ini ada tujuh anak tangga dan luasnya sekira dua petak dan dahulu menurut cerita almarhum ayahnya yang juga saksi sejarah, bungker tersebut diperuntukkan untuk menyimpan beras.
Satu bungker yang berdekatan dengan bungker logistik berada di dalam rumah seorang warga. Namun, fungsi bungker ini belum diketahui secara pasti. Tentara yang melakukan survey pada saat itu hanya dapat memperkirakan bila bungker tersebut juga diperuntukkan tuk logistik. Dan satu bungker lainnya yang berada di bawah pondasi rumah warga, namun temboknya masih dapat diamati, diperkirakan menjadi tempat penyimpanan alat-alat bersenjata seperti gudang peluru.
Tak menyangka di sekitar kampus terdapat situs bersejarah, dinas pariwisata pun memanfaatkan penemuan ini tuk memaksimalkan desa ini menjadi desa wisata di kota Makassar. Gaung desa ini pun tak tanggung-tanggung. Hingga staf menteri Dinas pariwisata berkunjung dan merespon bila desa ini telah memenuhi kriteria sebagai desa wisata.
Dari segi pendidikan, desa Lakkang cocok bagi sejarawan atau arkeolog yang hendak meneliti। Temuan yang kini diperoleh berdasarkan survei masih membutuhkan berbagai analisis yang lebih mendalam. Ada lokasi penelitian yang dekat dengan kampus kita, sebaiknya dimanfaaatkan dengan baik.
Tak hanya itu, desa Lakkang sebagai desa wisata menawarkan pesona yang tak kalah jauh dengan tanjung bayang. Suasana menyeberangi sungai Tallo menjadi daya tarik yang tak dimiliki tempat wisata lainnya. Pengunjung dapat membawa motor atau sepeda karena ada perahu yang senantiasa membawa pengunjung tuk menyeberangi sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar