About Me

Foto saya
makassar, Sulawesi selatan, Indonesia
Saya mencintai petualangan... otomatis saya menyukai tantangan.. Go Fight!

Translate

Selasa, 11 Oktober 2011

Mewariskan Tawuran

Ketika masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tiba, maka iklim kampus pun berubah drastis.
    Tampak pengumpulan Mahasiswa baru (Maba) di setiap sudut universitas. Setiap fakultas melakukan pengaderan di areanya masing-masing. Berbeda fakultas, pengaderan pun didesain oleh pengurus Lembaga Mahasiswa (Lema) sesuai karakter dan ciri khas fakultas. Pemandangan tahunan yang tidak berbeda dari tahun ke tahun.
Dulu, ketika lema masih berkibar di kampus merah ini, mahasiswa memiliki porsi yang amat besar untuk menyambut adik-adik mereka. Pengaderan tingkat universitas menjadi cerita yang selalu dikenang. Walau berbeda fakultas, Lema universitas mampu mengumpulkan Maba dari berbagai fakultas yang berbeda. 
Sejak tahun 2006, Universitas mulai mangambil alih prosesi penerimaan Maba. Jika dulu, Lema memiliki kekuasaan penuh tuk generasi penerus mereka (Maba, red). Kini mereka harus bersabar menyapa adik-adiknya kurang lebih tiga bulan setelah prosesi PMB oleh universitas. Puas atau tidak, keputusan ini harus diterima oleh semua Lema.
Kebijakan universitas ini tak lain karena kurangnya kepercayaan terhadap Lema. Kini, kondisi lembaga yang berfragmen dan tak adanya Lema tingkat universitas membuat universitas sangsi prosesi penerimaan Maba ini diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa.
Kini pemandangan pengaderan tingkat universitas laiknya fatamorgana di malam hari. Tiap lembaga fakultas melakukan pengaderannya masing-masing. Hasilnya, mahasiswa hanya mampu mempertahankan solidaritas hingga tingkat fakultas, solidaritas tingkat universitas nol. Alih-alih berharap mahasiswa berbeda fakultas dapat dikumpulkan bersama, yang terjadi kini malah gesekan-gesekan personal yang bermuara pada bentrok dan tawuran antarfakultas.
Mahasiswa ketika tawuran tak pernah berpikir panjang. Batu, kepingan kaca hingga pecahan genteng dijadikan sebagai senjata. Emosi yang melahirkan luka psikis dan fisik. Dan ini akan selalu menjadi warisan yang turun temurun. Tawuran tak menjadi hal baru. Ini telah terjadi berkali-kali dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali tawuran terjadi, Maba menyaksikan dan akan menyampaikannya pada generasi selanjutnya sebagai sebuah warisan yang membudaya. 
Selalu saja ketika maba hadir di tengah-tengah sivitas akademika, tawuran mewarnai iklim akademik kampus kita. Adanya kecenderungan ingin terlihat lebih kuat dan memperlihatkan ‘taring’ kepada lembaga mahasiswa lainnya menjadi motivasi hujan batu yang belakangan menjadi tren mahasiswa Unhas yang senang tawuran.
Solidaritas yang ditanamkan kepada maba bukan solidaritas memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun, solidaritas yang terbangun adalah solidaritas gengsi, solidaritas yang semata-mata ingin memperlihatkan bahwa senior mampu melindungi juniornya dari ‘taring’ Lema lainnya. Padahal, awalnya ini disebabkan karena konflik personal, oknum mahasiswa yang tak bertanggung jawab yang akhirnya melibatkan dua kubu yang terprovokasi.
Keadaan ini diperparah oleh solidaritas mahasiswa yang terputus pada tataran antarfakultas. Kurangnya solidaritas mahasiswa pada tingkat universitas menjadikan mahasiswa mudah diadudomba antarsesamanya. Padahal solidaritas mahasiswa di tataran universitas perlu diperkuat untuk mengawal isu-isu yang lebih merakyat.
Tapi entah kenapa mahasiswa kini lebih mudah diprovokasi sehingga energi mereka terbuang untuk hal-hal merugikan-tawuran. Seandainya saja energi mahasiswa diarahkan untuk memperjuangkan nasib bangsa kita yang terpuruk dan miskin tentu pandangan masyarakat terhadap mahasiswa akan lebih elok.n

Tirani Birokrasi Kian Langgeng


Puluhan mahasiswa dinyatakan Drop out (DO) dan puluhan lembaga mahasiswa dibekukan. Miris menyaksikan tirani birokrasi yang berlangsung di Universitas Negeri Makassar. Perlakuan yang tak humanis dari kalangan birokrat yang notabene adalah akademis yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Represif seperti itulah problem solving yang kini dilakukan. Dan parahnya, tindakan ini didengar dan mungkin saja akan menjadi referensi masyarakat awam.
Tak ada proses mediasi dan komunikasi, mahasiswa yang melanggar serta merta mendapatkan Surat Keputusan (SK) DO. Sangat disayangkan, karena mahasiswa dalam proses belajarnya mendapatkan pelajaran yang buruk-bersikap represif. Selain itu, birokrasi yang seharusnya bersikap selaiknya orang tua ternyata tak mampu mengajarkan kebijakan dan kebajikan bagi anak-anaknya yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Ini menjadi pelajaran bagi universitas manapun. Bukankah ini menjadi tamparan keras bagi pelaku intelektual? Hal ini seharusnya menyadarkan bila ada kekeliruan mahasiswa dalam prosesnya, pendidik seyogyanya memberikan arahan yang lebih humanis. Ada proses diskusi agar kedua pihak mendapatkan titik temu. Namun bila seperti inilah kenyataannya maka sedari awal yang tujuannya untuk menyelesaikan masalah, malah hanya akan melahirkan masalah baru yang tak berujung.
Dua puluhan lembaga telah dibekukan. Mahasiswa kini seolah mati. Mahasiswa dilumpuhkan dengan DO, tak puas birokrasi membekukan lembaganya. Kebebasan berekspresi mahasiswa ditekan dengan cara yang tak humanis oleh pelaku yang seharusnya memberikan contoh sikap yang humanis. Intelektual birokrasi idealnya tergambar dari tindakan mereka. Namun, pemikiran yang intelektual tidak dibarengi dengan sikap yang bijaksana.
Kejadian ini akhirnya melahirkan ketakpercayaan. Lembaga mahasiswa dan birokrasi menganut jalan yang berbeda. Padahal keduanya memiliki keterkaitan. Birokrasi kurang mendukung keberadaan lembaga mahasiswa dengan menekan ruh mahasiswa secara perlahan. Birokrasi berniat ‘mematikan’ mahasiswa. Mahasiswa dilarang berekspresi dan melepas baju kemahasiswaannya adalah tindakan yang kurang elegan.  Padahal begitu banyak langkah berkelas yang dapat diupayakan.
Kini, tirani birokrasi semakin memperlihatkan taringnya. Mahasiswa yang dikekang dengan hak pengeluaran SK DO hanya akan melahirkan perlawanan. Tak hanya mahasiswa UNM yang akan melawan, namun kalangan mahasiswa dari universitas lainpun menunjukkan solidaritas mereka. Berbagai universitas turut membantu perjuangan mahasiswa yang ditindas oleh kesewenang-wenangan birokrat.
Universitas yang seharusnya tak sepakat dengan kesewenang-wenangan, malah memberikan contoh yang buruk kepada masyarakat. Bagaimana bila sikap seperti ini menjadi acuan setiap instansi di negeri ini? Semua masalah diselesaikan dengan pemecatan secara sepihak tanpa adanya diskusi untuk mencari akar masalah. Tak lain agar kedepannya masalah yang sama tak terulang.
Sikap birokrat yang otoriter ini seolah meniadakan demokrasi di negeri ini. Bukankah ada beberapa langkah penyelesaian masalah. Dan tak sepantasnya mahasiswa dihakimi dan dijatuhi hukuman DO. Banyak langkah menuju mufakat dan birokrat UNM belum melakukan hal itu. Tanpa teguran, tanpa proses sharing DO dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Bila semua mahasiswa di DO, lalu mahasiswa seperti apakah yang pantas mengenyam pendidikan?
Kasus yang terjadi di UNM ini seharusnya mendapat perhatian dari pihak universitas lainnya. Bila ini terus berlanjut dan menjadi contoh di tempat lain, entah seperti apa negara kita kelak.