Ketika masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tiba, maka iklim kampus pun berubah drastis.
Tampak pengumpulan Mahasiswa baru (Maba) di setiap sudut universitas. Setiap fakultas melakukan pengaderan di areanya masing-masing. Berbeda fakultas, pengaderan pun didesain oleh pengurus Lembaga Mahasiswa (Lema) sesuai karakter dan ciri khas fakultas. Pemandangan tahunan yang tidak berbeda dari tahun ke tahun.
Dulu, ketika lema masih berkibar di kampus merah ini, mahasiswa memiliki porsi yang amat besar untuk menyambut adik-adik mereka. Pengaderan tingkat universitas menjadi cerita yang selalu dikenang. Walau berbeda fakultas, Lema universitas mampu mengumpulkan Maba dari berbagai fakultas yang berbeda.
Sejak tahun 2006, Universitas mulai mangambil alih prosesi penerimaan Maba. Jika dulu, Lema memiliki kekuasaan penuh tuk generasi penerus mereka (Maba, red). Kini mereka harus bersabar menyapa adik-adiknya kurang lebih tiga bulan setelah prosesi PMB oleh universitas. Puas atau tidak, keputusan ini harus diterima oleh semua Lema.
Kebijakan universitas ini tak lain karena kurangnya kepercayaan terhadap Lema. Kini, kondisi lembaga yang berfragmen dan tak adanya Lema tingkat universitas membuat universitas sangsi prosesi penerimaan Maba ini diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa.
Kini pemandangan pengaderan tingkat universitas laiknya fatamorgana di malam hari. Tiap lembaga fakultas melakukan pengaderannya masing-masing. Hasilnya, mahasiswa hanya mampu mempertahankan solidaritas hingga tingkat fakultas, solidaritas tingkat universitas nol. Alih-alih berharap mahasiswa berbeda fakultas dapat dikumpulkan bersama, yang terjadi kini malah gesekan-gesekan personal yang bermuara pada bentrok dan tawuran antarfakultas.
Mahasiswa ketika tawuran tak pernah berpikir panjang. Batu, kepingan kaca hingga pecahan genteng dijadikan sebagai senjata. Emosi yang melahirkan luka psikis dan fisik. Dan ini akan selalu menjadi warisan yang turun temurun. Tawuran tak menjadi hal baru. Ini telah terjadi berkali-kali dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali tawuran terjadi, Maba menyaksikan dan akan menyampaikannya pada generasi selanjutnya sebagai sebuah warisan yang membudaya.
Selalu saja ketika maba hadir di tengah-tengah sivitas akademika, tawuran mewarnai iklim akademik kampus kita. Adanya kecenderungan ingin terlihat lebih kuat dan memperlihatkan ‘taring’ kepada lembaga mahasiswa lainnya menjadi motivasi hujan batu yang belakangan menjadi tren mahasiswa Unhas yang senang tawuran.
Solidaritas yang ditanamkan kepada maba bukan solidaritas memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun, solidaritas yang terbangun adalah solidaritas gengsi, solidaritas yang semata-mata ingin memperlihatkan bahwa senior mampu melindungi juniornya dari ‘taring’ Lema lainnya. Padahal, awalnya ini disebabkan karena konflik personal, oknum mahasiswa yang tak bertanggung jawab yang akhirnya melibatkan dua kubu yang terprovokasi.
Keadaan ini diperparah oleh solidaritas mahasiswa yang terputus pada tataran antarfakultas. Kurangnya solidaritas mahasiswa pada tingkat universitas menjadikan mahasiswa mudah diadudomba antarsesamanya. Padahal solidaritas mahasiswa di tataran universitas perlu diperkuat untuk mengawal isu-isu yang lebih merakyat.
Tapi entah kenapa mahasiswa kini lebih mudah diprovokasi sehingga energi mereka terbuang untuk hal-hal merugikan-tawuran. Seandainya saja energi mahasiswa diarahkan untuk memperjuangkan nasib bangsa kita yang terpuruk dan miskin tentu pandangan masyarakat terhadap mahasiswa akan lebih elok.n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar