Puluhan mahasiswa dinyatakan Drop out (DO) dan puluhan lembaga mahasiswa dibekukan. Miris menyaksikan tirani birokrasi yang berlangsung di Universitas Negeri Makassar. Perlakuan yang tak humanis dari kalangan birokrat yang notabene adalah akademis yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Represif seperti itulah problem solving yang kini dilakukan. Dan parahnya, tindakan ini didengar dan mungkin saja akan menjadi referensi masyarakat awam.
Tak ada proses mediasi dan komunikasi, mahasiswa yang melanggar serta merta mendapatkan Surat Keputusan (SK) DO. Sangat disayangkan, karena mahasiswa dalam proses belajarnya mendapatkan pelajaran yang buruk-bersikap represif. Selain itu, birokrasi yang seharusnya bersikap selaiknya orang tua ternyata tak mampu mengajarkan kebijakan dan kebajikan bagi anak-anaknya yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Ini menjadi pelajaran bagi universitas manapun. Bukankah ini menjadi tamparan keras bagi pelaku intelektual? Hal ini seharusnya menyadarkan bila ada kekeliruan mahasiswa dalam prosesnya, pendidik seyogyanya memberikan arahan yang lebih humanis. Ada proses diskusi agar kedua pihak mendapatkan titik temu. Namun bila seperti inilah kenyataannya maka sedari awal yang tujuannya untuk menyelesaikan masalah, malah hanya akan melahirkan masalah baru yang tak berujung.
Dua puluhan lembaga telah dibekukan. Mahasiswa kini seolah mati. Mahasiswa dilumpuhkan dengan DO, tak puas birokrasi membekukan lembaganya. Kebebasan berekspresi mahasiswa ditekan dengan cara yang tak humanis oleh pelaku yang seharusnya memberikan contoh sikap yang humanis. Intelektual birokrasi idealnya tergambar dari tindakan mereka. Namun, pemikiran yang intelektual tidak dibarengi dengan sikap yang bijaksana.
Kejadian ini akhirnya melahirkan ketakpercayaan. Lembaga mahasiswa dan birokrasi menganut jalan yang berbeda. Padahal keduanya memiliki keterkaitan. Birokrasi kurang mendukung keberadaan lembaga mahasiswa dengan menekan ruh mahasiswa secara perlahan. Birokrasi berniat ‘mematikan’ mahasiswa. Mahasiswa dilarang berekspresi dan melepas baju kemahasiswaannya adalah tindakan yang kurang elegan. Padahal begitu banyak langkah berkelas yang dapat diupayakan.
Kini, tirani birokrasi semakin memperlihatkan taringnya. Mahasiswa yang dikekang dengan hak pengeluaran SK DO hanya akan melahirkan perlawanan. Tak hanya mahasiswa UNM yang akan melawan, namun kalangan mahasiswa dari universitas lainpun menunjukkan solidaritas mereka. Berbagai universitas turut membantu perjuangan mahasiswa yang ditindas oleh kesewenang-wenangan birokrat.
Universitas yang seharusnya tak sepakat dengan kesewenang-wenangan, malah memberikan contoh yang buruk kepada masyarakat. Bagaimana bila sikap seperti ini menjadi acuan setiap instansi di negeri ini? Semua masalah diselesaikan dengan pemecatan secara sepihak tanpa adanya diskusi untuk mencari akar masalah. Tak lain agar kedepannya masalah yang sama tak terulang.
Sikap birokrat yang otoriter ini seolah meniadakan demokrasi di negeri ini. Bukankah ada beberapa langkah penyelesaian masalah. Dan tak sepantasnya mahasiswa dihakimi dan dijatuhi hukuman DO. Banyak langkah menuju mufakat dan birokrat UNM belum melakukan hal itu. Tanpa teguran, tanpa proses sharing DO dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Bila semua mahasiswa di DO, lalu mahasiswa seperti apakah yang pantas mengenyam pendidikan?
Kasus yang terjadi di UNM ini seharusnya mendapat perhatian dari pihak universitas lainnya. Bila ini terus berlanjut dan menjadi contoh di tempat lain, entah seperti apa negara kita kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar