About Me

Foto saya
makassar, Sulawesi selatan, Indonesia
Saya mencintai petualangan... otomatis saya menyukai tantangan.. Go Fight!

Translate

Rabu, 17 Oktober 2012

Tanda-tanda Kiamat Berbasis Kesehatan Lingkungan

Hari itu, jam di ruangan 301 menunjukkan angka 15.00 WIB. Seorang dosen dengan setelan kemeja dan rambut agak putih masuk ke dalam ruangan sambil membawa tas hitam. Pelan tapi pasti, bapak yang juga seorang dokter ini memberikan materi dengan gayanya yang nyentrik serta selengean. Kami, mahasiswanya tidak kaget lagi, maklum dialah dosen yang kerap memberikan materi kesehatan lingkungan di kelas kami, Kelas Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Sesekali agar kami tidak bosan, ia memberikan guyonan yang reflektif. Sungguh Belajar dari guru yang satu ini memang terbilang membutuhkan kacamata tersendiri untuk memahami apa yang diucapkannya. Bagi orang yang pemikirannya belum sampai, tak akan paham dengan apa yang ia ucapkan. Bapak yang menjadi sahabat bagi para tukang becak di Jogjakarta ini sering mengeluarkan pesan yang eksplisit. Jadi, pendengarnya juga harus siap dengan kesiapan methapora berpikir.
Kala itu di tengah penjelasannya mengenai paparan gelombang radiasi alat-alat elektronik di kehidupan manusia, Ia yang selalu bercerita soal kucing kesayangannya ini mengatakan, "dulu Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa tanda-tanda kiamat itu jika telah banyak bangunan rumah yang bertingkat-tingkat (bersusun). 

Pikiranku pun melayang, merefleksikan kata-kata bapak ini. Karena terlalu sering melihat slide gambar tumpukan sampah yang mulai menggunung di beberapa pertemuan kesehatan lingkungan, saya pun merenung dan berpendapat bahwa sebenarnya tanda-tanda kiamat itu bila dimana-mana timbunan sampah sudah setinggi rumah bertingkat.

Minggu, 14 Oktober 2012

Tak Hanya Pintar (saja) Namun Bijaksana

Sejak di bangku Sekolah Dasar, batinku selalu bergejolak. Bertanya-tanya mengapa semua anak-anak harus sekolah. Padahal dengan bermain sepuasnya dengan alam adalah hal yang lebih dari cukup. Sejak kecil, saya tak pernah memahami mengapa kami harus belajar membaca, menghitung dan berbagai aktivitas belajar lainnya. Yang saya tahu dari proses belajar itu hanyalah teman-teman pintar dan mendapatkan rangking atau juara kelas. Benak diriku yang masih kecil saat itu, masa bodoh dengan juara dan sebagainya. Karena Saya yang begitu kecil lebih menyenangi bermain dengan alam dan lingkungan sekitarku (lingkungan pasar).

Sepulang sekolah saya memilih bermain. Berjalan sepuasnya mengelilingi Kota kecilku. Tak lupa saya selalu menyempatkan berjalan-jalan dengan kaki telanjang menuju pusat penjualan sayur. Melihat tanaman-tanaman kecil yang tumbuh di bawah para pedagang sayur membuatku merasa tak sabaran. Diriku yang Mungil ini pun segera mencari bekas tempat sabun colek dan mengisinya dengan tanah. Sungguh, saya dengan wajahku yang kumal ini telaten mencabuti tanaman-tanaman kecil (bibit tomat, lombok, semangka) dan kemudian saya memindahkannya dalam wadah bekas sabun itu.

Tanpa mengingat apa itu matematika, bahasa indonesia dan sebagainya, setiap hari saya hanya fokus pada tanaman-tanaman itu. Saya yang kecil, mulai bergegas menanamnya satu persatu. Hingga akhirnya tomat kecil berbuah, lombok biji, semangka hingga pepaya ku berbuah. Sangat senang rasanya.

Saya pada saat itu dianggap paling bodoh. Ketika semua anak-anak sibuk dengan ujian dan mengejar rangking, diriku malah tak mengerti apa-apa mengenai belajar yang baik seperti apa. Malah membaca pun sangat sulit. Mengapa tidak, diriku yang sewaktu kecil adalah yang bebas dengan berbagai petualangan kecil.
Seseorang menjadi pintar atau tidak pintar itu perkara seberapa terang lenteranya (baca: guru) bisa mengarahkan jalan yang dituju. Saya menyadari bahwa sewaktu kecil, saya belum menemukan guru yang mau memperhatikan dan memahami apa yang saya butuhkan di kala itu. Menjadi sosok yang pintar itu mudah. Semua orang bisa menjadi pintar bila ia mau berusaha belajar dengan rajin. Namun, menjadi bijaksana itulah yang susah. Tidak semua orang bisa memaknai dan merefleksikan sesuatu.

Sekolah jika hanya bertujuan membuat seseorang menjadi pintar, itu adalah tujuan yang keliru. Seorang setelah menjadi pintar seharusnya beranjak dari model pintarnya menuju sosok yang bijaksana, sosok yang mencintai kebijaksanaan. Sosok yang berphiloshopia. Tentunya pintar saja tidak cukup, namun pengalaman, emosional dan spiritual.


Jumat, 12 Oktober 2012

Memaknai Buah Apel Matang yang Jatuh dari Pohonnya

Jogjakarta, senja menjelang, Minggu (7/10). Bersama beberapa rekan di Program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat kami melaju pulang menuju kos kami. Hari itu, mendung menyapa kota Jogjakarta, tepat di hari ulang tahunnya. Kami baru saja menikmati wisata arum jeram di Magelang. Dengan sepeda motor yang melaju kencang, hujan pun menyapa kami. Terlanjur basah, rombongan kami tetap melawan derasnya hujan.
Tiba-tiba saya melihat tetesan air hujan yang menetes perlahan dari sebuah mobil. tetesan air hujan itu terus saja mengalir ke bawah, mencari tempat terendah. alhasil, saya pun kemudian merenung air saja yang benda mati masih saja selalu mencari tempat terendah untuk tergenang dan mencari kondisi paling tenang.
Sifat air yang tatkala selalu mencari tempat terendah ini menjadi bahan renungan yang luar biasa. Karena kita sebagai manusia yang diberi akal malah selalu mencari posisi setinggi mungkin sebagai alasan untuk angkuh dan diakui oleh manusia lainnya. Hemat saya, terlalu dangkal dan tidak elegan untuk ukuran manusia yang dibekali akal pikiran.
Begitupula  jika mengamati buah Apel yang matang di pohonnya. Kebiasaan buah apel akan selalu meninggalkan pohonnya dan terjatuh ke bawah. Tak jauh berbeda dengan air, ternyata apel pun mempraktikkan pola yang sama.Padi yang berisi pun akan semakin merunduk. Jadi, semua yang matang, berisi atau pun penuh itu seharusnya menjadi pribadi yang merendah (tidak angkuh). Namun, kekuatannya itu terletak pada metaberpikir seseorang. dan kesimpulan saya, hanya yang berisi, matang atau penuh itulah yang bisa mengolah metaberpikirnya untuk menuju sikap merendah diri.