Jogjakarta, senja menjelang, Minggu (7/10). Bersama beberapa rekan di Program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat kami melaju pulang menuju kos kami. Hari itu, mendung menyapa kota Jogjakarta, tepat di hari ulang tahunnya. Kami baru saja menikmati wisata arum jeram di Magelang. Dengan sepeda motor yang melaju kencang, hujan pun menyapa kami. Terlanjur basah, rombongan kami tetap melawan derasnya hujan.
Tiba-tiba saya melihat tetesan air hujan yang menetes perlahan dari sebuah mobil. tetesan air hujan itu terus saja mengalir ke bawah, mencari tempat terendah. alhasil, saya pun kemudian merenung air saja yang benda mati masih saja selalu mencari tempat terendah untuk tergenang dan mencari kondisi paling tenang.
Sifat air yang tatkala selalu mencari tempat terendah ini menjadi bahan renungan yang luar biasa. Karena kita sebagai manusia yang diberi akal malah selalu mencari posisi setinggi mungkin sebagai alasan untuk angkuh dan diakui oleh manusia lainnya. Hemat saya, terlalu dangkal dan tidak elegan untuk ukuran manusia yang dibekali akal pikiran.
Begitupula jika mengamati buah Apel yang matang di pohonnya. Kebiasaan buah apel akan selalu meninggalkan pohonnya dan terjatuh ke bawah. Tak jauh berbeda dengan air, ternyata apel pun mempraktikkan pola yang sama.Padi yang berisi pun akan semakin merunduk. Jadi, semua yang matang, berisi atau pun penuh itu seharusnya menjadi pribadi yang merendah (tidak angkuh). Namun, kekuatannya itu terletak pada metaberpikir seseorang. dan kesimpulan saya, hanya yang berisi, matang atau penuh itulah yang bisa mengolah metaberpikirnya untuk menuju sikap merendah diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar