About Me

Foto saya
makassar, Sulawesi selatan, Indonesia
Saya mencintai petualangan... otomatis saya menyukai tantangan.. Go Fight!

Translate

Selasa, 11 Oktober 2011

Mewariskan Tawuran

Ketika masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tiba, maka iklim kampus pun berubah drastis.
    Tampak pengumpulan Mahasiswa baru (Maba) di setiap sudut universitas. Setiap fakultas melakukan pengaderan di areanya masing-masing. Berbeda fakultas, pengaderan pun didesain oleh pengurus Lembaga Mahasiswa (Lema) sesuai karakter dan ciri khas fakultas. Pemandangan tahunan yang tidak berbeda dari tahun ke tahun.
Dulu, ketika lema masih berkibar di kampus merah ini, mahasiswa memiliki porsi yang amat besar untuk menyambut adik-adik mereka. Pengaderan tingkat universitas menjadi cerita yang selalu dikenang. Walau berbeda fakultas, Lema universitas mampu mengumpulkan Maba dari berbagai fakultas yang berbeda. 
Sejak tahun 2006, Universitas mulai mangambil alih prosesi penerimaan Maba. Jika dulu, Lema memiliki kekuasaan penuh tuk generasi penerus mereka (Maba, red). Kini mereka harus bersabar menyapa adik-adiknya kurang lebih tiga bulan setelah prosesi PMB oleh universitas. Puas atau tidak, keputusan ini harus diterima oleh semua Lema.
Kebijakan universitas ini tak lain karena kurangnya kepercayaan terhadap Lema. Kini, kondisi lembaga yang berfragmen dan tak adanya Lema tingkat universitas membuat universitas sangsi prosesi penerimaan Maba ini diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa.
Kini pemandangan pengaderan tingkat universitas laiknya fatamorgana di malam hari. Tiap lembaga fakultas melakukan pengaderannya masing-masing. Hasilnya, mahasiswa hanya mampu mempertahankan solidaritas hingga tingkat fakultas, solidaritas tingkat universitas nol. Alih-alih berharap mahasiswa berbeda fakultas dapat dikumpulkan bersama, yang terjadi kini malah gesekan-gesekan personal yang bermuara pada bentrok dan tawuran antarfakultas.
Mahasiswa ketika tawuran tak pernah berpikir panjang. Batu, kepingan kaca hingga pecahan genteng dijadikan sebagai senjata. Emosi yang melahirkan luka psikis dan fisik. Dan ini akan selalu menjadi warisan yang turun temurun. Tawuran tak menjadi hal baru. Ini telah terjadi berkali-kali dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali tawuran terjadi, Maba menyaksikan dan akan menyampaikannya pada generasi selanjutnya sebagai sebuah warisan yang membudaya. 
Selalu saja ketika maba hadir di tengah-tengah sivitas akademika, tawuran mewarnai iklim akademik kampus kita. Adanya kecenderungan ingin terlihat lebih kuat dan memperlihatkan ‘taring’ kepada lembaga mahasiswa lainnya menjadi motivasi hujan batu yang belakangan menjadi tren mahasiswa Unhas yang senang tawuran.
Solidaritas yang ditanamkan kepada maba bukan solidaritas memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun, solidaritas yang terbangun adalah solidaritas gengsi, solidaritas yang semata-mata ingin memperlihatkan bahwa senior mampu melindungi juniornya dari ‘taring’ Lema lainnya. Padahal, awalnya ini disebabkan karena konflik personal, oknum mahasiswa yang tak bertanggung jawab yang akhirnya melibatkan dua kubu yang terprovokasi.
Keadaan ini diperparah oleh solidaritas mahasiswa yang terputus pada tataran antarfakultas. Kurangnya solidaritas mahasiswa pada tingkat universitas menjadikan mahasiswa mudah diadudomba antarsesamanya. Padahal solidaritas mahasiswa di tataran universitas perlu diperkuat untuk mengawal isu-isu yang lebih merakyat.
Tapi entah kenapa mahasiswa kini lebih mudah diprovokasi sehingga energi mereka terbuang untuk hal-hal merugikan-tawuran. Seandainya saja energi mahasiswa diarahkan untuk memperjuangkan nasib bangsa kita yang terpuruk dan miskin tentu pandangan masyarakat terhadap mahasiswa akan lebih elok.n

Tirani Birokrasi Kian Langgeng


Puluhan mahasiswa dinyatakan Drop out (DO) dan puluhan lembaga mahasiswa dibekukan. Miris menyaksikan tirani birokrasi yang berlangsung di Universitas Negeri Makassar. Perlakuan yang tak humanis dari kalangan birokrat yang notabene adalah akademis yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Represif seperti itulah problem solving yang kini dilakukan. Dan parahnya, tindakan ini didengar dan mungkin saja akan menjadi referensi masyarakat awam.
Tak ada proses mediasi dan komunikasi, mahasiswa yang melanggar serta merta mendapatkan Surat Keputusan (SK) DO. Sangat disayangkan, karena mahasiswa dalam proses belajarnya mendapatkan pelajaran yang buruk-bersikap represif. Selain itu, birokrasi yang seharusnya bersikap selaiknya orang tua ternyata tak mampu mengajarkan kebijakan dan kebajikan bagi anak-anaknya yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Ini menjadi pelajaran bagi universitas manapun. Bukankah ini menjadi tamparan keras bagi pelaku intelektual? Hal ini seharusnya menyadarkan bila ada kekeliruan mahasiswa dalam prosesnya, pendidik seyogyanya memberikan arahan yang lebih humanis. Ada proses diskusi agar kedua pihak mendapatkan titik temu. Namun bila seperti inilah kenyataannya maka sedari awal yang tujuannya untuk menyelesaikan masalah, malah hanya akan melahirkan masalah baru yang tak berujung.
Dua puluhan lembaga telah dibekukan. Mahasiswa kini seolah mati. Mahasiswa dilumpuhkan dengan DO, tak puas birokrasi membekukan lembaganya. Kebebasan berekspresi mahasiswa ditekan dengan cara yang tak humanis oleh pelaku yang seharusnya memberikan contoh sikap yang humanis. Intelektual birokrasi idealnya tergambar dari tindakan mereka. Namun, pemikiran yang intelektual tidak dibarengi dengan sikap yang bijaksana.
Kejadian ini akhirnya melahirkan ketakpercayaan. Lembaga mahasiswa dan birokrasi menganut jalan yang berbeda. Padahal keduanya memiliki keterkaitan. Birokrasi kurang mendukung keberadaan lembaga mahasiswa dengan menekan ruh mahasiswa secara perlahan. Birokrasi berniat ‘mematikan’ mahasiswa. Mahasiswa dilarang berekspresi dan melepas baju kemahasiswaannya adalah tindakan yang kurang elegan.  Padahal begitu banyak langkah berkelas yang dapat diupayakan.
Kini, tirani birokrasi semakin memperlihatkan taringnya. Mahasiswa yang dikekang dengan hak pengeluaran SK DO hanya akan melahirkan perlawanan. Tak hanya mahasiswa UNM yang akan melawan, namun kalangan mahasiswa dari universitas lainpun menunjukkan solidaritas mereka. Berbagai universitas turut membantu perjuangan mahasiswa yang ditindas oleh kesewenang-wenangan birokrat.
Universitas yang seharusnya tak sepakat dengan kesewenang-wenangan, malah memberikan contoh yang buruk kepada masyarakat. Bagaimana bila sikap seperti ini menjadi acuan setiap instansi di negeri ini? Semua masalah diselesaikan dengan pemecatan secara sepihak tanpa adanya diskusi untuk mencari akar masalah. Tak lain agar kedepannya masalah yang sama tak terulang.
Sikap birokrat yang otoriter ini seolah meniadakan demokrasi di negeri ini. Bukankah ada beberapa langkah penyelesaian masalah. Dan tak sepantasnya mahasiswa dihakimi dan dijatuhi hukuman DO. Banyak langkah menuju mufakat dan birokrat UNM belum melakukan hal itu. Tanpa teguran, tanpa proses sharing DO dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Bila semua mahasiswa di DO, lalu mahasiswa seperti apakah yang pantas mengenyam pendidikan?
Kasus yang terjadi di UNM ini seharusnya mendapat perhatian dari pihak universitas lainnya. Bila ini terus berlanjut dan menjadi contoh di tempat lain, entah seperti apa negara kita kelak.

Jumat, 15 April 2011

Menyeka Air Mata Rakyat


Bagi rakyat, Merekalah yang seharusnya menjadi sandaran dan bahu ketika Negara tak lagi memihak orang-orang kecil. Mereka-para pejabat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rakyat menolak keinginan wakil mereka yang sedang merancang pembangunan gedung DPR baru nan megah.  Gedung yang menelan uang rakyat kurang lebih satu Triliun.
Kali ini rakyat marah. Tiba-tiba DPR mengadakan lelang dan sayembara proyek pembangunan gedung baru. Yang menyedihkan lagi-lagi DPR diam-diam melakukan rencana pembangunan tanpa sosialisasi dan pertimbangan dari masyarakat. DPR dinilai tidak transparan melaksanakan mekanisme proses perencanaan pembangunan. Rakyat tentu tidak sepaham dengan keinginan dan tindakan para penyalur aspirasi.
Rakyat bersedih dan menilai DPR berhati tembok. Yang membuat rakyat sedih tak hanya penggunaan anggaran yang terbilang boros. Namun, usut punya usut, anggaran yang membengkak diperburuk dengan dugaan korupsi. Indonesia Corruption Watch memperkirakan terjadi mark-up sebesar Rp 602 miliar dalam pembangunan gedung tersebut. Hati siapa yang tak perih, bila pejuang mereka tak lagi memihak. Ditambah lagi, wakil rakyat dengan seenaknya duduk dalam rapat dengan menonton tayangan porno atau memilih bolos dan kini mementingkan kenyamanan mereka.
Tak hanya itu, pembangunan gedung ini juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45 Tahun 2007 tentang Pembangunan Gedung Negara. Dalam aturan itu terdapat asas pembangunan gedung negara yang seharusnya hemat, efektif, efisien, terarah, dalam merencanakan pembangunan gedung. Idealnya harus hemat, namun mereka yang duduk di DPR tak merasa cukup dengan menghabiskan uang Triliunan.
Belum tuntas berbagai persoalan yang seharusnya diperjuangkan oleh wakil rakyat, mereka malah hendak membuat sekat yang begitu lebar. Sekat berupa gedung setinggi 36 lantai dan bertembok elit. Sekat antara rakyat dan wakil rakyat? Sejak kapan ada wakil rakyat tak mewakili rakyatnya? Sungguh ironi.
Di tengah kesulitan yang menghimpit, dan kondisi rakyat yang menderita, dengan identitas kemiskinan yang begitu telanjang, DPR malah hendak membuat rakyat enggan menyalurkan teriakan-teriakan kecil mereka. Tentunya, mereka akan enggan karena ketika melihat gedung mahal itu, mereka tersadar mereka terlalu miskin.
Gedung itu begitu megah dan tinggi. Orang-orang kecil akan merasa tak pantas berada di tempat yang ekslusif. Mengucapkan harapan mereka pada wakilnya pun pasti akan terbata-bata karena merasa tak percaya diri berada di tempat itu. Seharusnya sekat itu harus dihancurkan agar rakyat kecil merasa memiliki tempat di Negara ini.
DPR ada karena merekalah penyambung lidah rintihan orang-orang kecil di negeri ini. Namun, sekali lagi rakyat kita harus menangis menerima kenyataan ini. Dan DPR pun kali ini tak dapat menyekanya. Adakah pekerjaan DPR yang telah berhasil menyeka air mata rakyat? Apa yang telah mereka perbuat untuk negeri ini? Kefatalan luar biasa, tak ada lagi penyambung lidah yang dapat melegakan nafas rakyat kecil. 
Sebagai salah satu pemegang kuasa, seyogyanya DPR menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Rakyat miskin, DPR pun harus merasa miskin. Rakyat Lapar, DPR pun harus merasakan lapar. Tak merasa mapan dengan fisik gedung yang mewah. Namun mapan karena rakyat yang diperjuangkan tak lagi merintih. Dan seharusnya dana pembangunan gedung itu dapat menjadi alat perjuangan DPR mengentaskan derita kemiskinan dan korupsi di negeri ini.

Minggu, 27 Maret 2011

Menjadi Seorang Manager Iklan

Kala itu, di tahun 2009, Pemimpin Redaksi (Pemred) Pk identitas-Kanda Iqbal Jafar-berbicara empat mata dengan saya. Ia meminta saya menjadi staf iklan untuk Kanda Haryati Harnang, yang saat itu menjadi manager iklan. Saya tak begitu paham dengan posisi ini, namun karena jiwa saya sudah melekat di identitas, saya pun menyanggupi.
 
Bersama kanda yati, saya melewati beragam kisah. Saya belajar banyak hal darinya. Hal yang tak bisa saya lupakan dari seorang K yati adalah semangatnya yang pantang menyerah. Ia tak menyerah di awal kegagalan dalam melobi pihak pengiklan. Ia terus berjuang dan meyakinkan mereka agar mempercayai identitas sebagai media promosi yang layak. Go Fight, itulah istilah yang sering terlontar dari mulutnya. Penuh semangat, menjadikan dia inspirasi saya dalam mengejar Iklan untuk identitas.

Berawal dari sana, saya mulai banyak mengetahui tentang dunia promosi dan iklan untuk media. Secara perlahan saya mulai tertantang untuk mencari pundi-pundi kehidupan untuk biaya operasional identitas selama setahun. Maklum, identitas termasuk organisasi yang membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Setelah setahun mendampingi kanda yati, akhirnya di tahun 2010, saya harus mengisi posisi manager iklan. Tantangannya semakin berat. Atas permintaan kanda Hidayat Doe, yang saat itu menjadi Pemred 2010, saya pun mulai mengejar target iklan untuk identitas. Target yang saya capai tentunya berdasarkan hasil rapat Kerja. Dan di rapat tersebut saya dan peserta rapat yang lain memutuskan akan mencapai target dua iklan warna setiap bulan. Alhamdulillah, tuhan pun mengijinkan program kerja tersebut terlaksana. Beberapa pengiklan dari luar pulau sulawesi pun mempercayai identitas sebagai media promosinya. Beberapa klien iklan yang tercatat di identitas yakni dataprint dan PT Bayer. Klien Lokal pun juga turut memeriahkan iklan di identitas. beberapa diantaranya: Grahamedia dan Percetakan Maiqi.

Beberapa kerjasama dengan pihak luar pun dimanfaatkan oleh identitas. Tentunya kerjasama yang mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, pengabdian dan penelitian. Kerjasama yang berhasil dilaksanakan oleh bagian iklan pada saat itu adalah resensi buku dengan pihak Penerbit Erlangga dan Penerbit Andi. Kerjasama ini menguntungkan dari segi pendidikan karena setiap buku yang diresensi menjadi hak milik identitas secara cuma-cuma.

Saya sebagai Manager Iklan, melihat adanya peluang pada saat Pelantikan Rektor. Saya pun memanfaatkan momen ini dengan mengusung terbitan identitas awal bulan april untuk edisi Ucapan Selamat Pelantikan Rektor. Bukan hal yang mudah, karena sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, saya harus melaksanakan kewajiban Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) Selama dua minggu di Kabupaten Bantaeng. Bersyukur, Tim Posko saya pada saat itu memahami tanggung jawab saya di identitas, mereka pun mengizinkan bila saya harus Bolak balik Makassar-Bantaeng. Pada saat itu, saya harus mengendarai yamaha Mio dengan kecepatan 80 Km/Jam menuju ke Makassar. Demi mengontrol iklan yang masuk dan menyesuaikan dengan space identitas. Sebuah tanggung jawab besar bagi saya, dan saya pun tak mengindahkan nilai nyawa saya pribadi. Tak hanya Nyawa, tapi Saya harus bertarung dengan kondisi dan supervisi PBL. terpaksa, dengan bantuan Tim Posko PBL saya, Posko Bombong, Saya berhasil bermain Petak Umpet dengan Supervisi.

Kerja keras bagian iklan juga harus dibuktikan di edisi pengumuman SNMPTN.dan menurut hemat saya, bukan hal yang mudah melewati masa-masa pengumuman. Saat itu, semua Teman di Jurusan memasuki Eforia Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saya pun berniat menunda KKN, dan beberapa teman di Jurusan pun menyayangkan keputusan saya. Namun, Setelah Berpikir dengan matang, saya pun kemudian banting setir. Saya merasa Mampu Melaksanakan KKN sambil meng-organize kawan-kawan untuk edisi tahunan ini. Kemudian, saya pun menjalani KKN, namun sekali lagi saya harus bolak balik Bone-Makassar. Berbeda dengan tim posko PBL saya ketika di Bantaeng, tim Posko KKN saya tidak respek dengan kondisi saya pada saat itu. Akhirnya Hubungan dengan teman-teman di Posko Awang Tangka, Kurang Harmonis. dan Sempat menyisakan Tragedi dengan Koordinator Kecamatan, Hendra, yang pada Saat itu menjabat sebagai ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Renang Unhas. Namun, berkat toleransi dari supervisi saya yang juga bergelut di bidang kemahasiswaan Unhas, Pak cido (dosen sejuta umat di unhas), saya pun mendapat pemakluman untuk menunaikan tanggung jawab ini.

lolos ke Makassar bukan Hal yang mudah. Karena melalui proses yang tak mudah, pengejawantahan ketakmudahan itu saya aplikasikan dengan melaksanakan tanggung jawab dengan serius.

Salah satunya, ketika naskah pengumuman harus disambut di bandara, saya pun terjun langsung menemui Pembantu Rektor I, Bidang Akademik unhas. Sekira sejam saya menunggu Prof Dadang A. Suriamiharja di pintu kedatangan bandara. seorang diri dari identitas sambil duduk menyila, Prof Dadang pun muncul dari pintu kaca. saya pun dengan gerakan cepat menghampirinya dan ia pun dengan ramah menyapa dengan senyum ramahnya. Ia pun mengajak saya menuju ke Unhas dengan tumpangan mobilnya. saya pun mengiyakan dan bercerita banyak dengannya.

suasana pengumuman SNMPTN mulai memanas, ketika naskah pengumuman SNMPTN dalam bentuk Hardcopy. padahal, tak ada waktu banyak untuk melakukan scanning. walau demikian, Prof Dadang tetap menyemangati kami dengan bersabar dan melakukan scanning. Tak lama, sekitar Pukul 16.00, naskah pengumuman SNMPTN dalam bentuk Softcopy sudah kami terima. namun, lagi-lagi tuhan memberikan kami cobaan. Format naskah tersebut dalam bentuk Pdf. dan identitas tak dapat melakukan copy langsung ke program PageMaker. Kami pun mulai kehabisan akal. Dalam Keadaan hampir putus asa, bersama Kanda yani, saya pun menuju Tribun Timur, tempat identitas di cetak. saya bermaksud menyemangati teman-teman yang telah menuangkan waktu dan tenaganya tuk edisi pengumuman tersebut.

Cetak ke Online Masih Transisi

Ketika Andreas Harsono mengunjungi beberapa tempat tuk berdiskusi di Makassar, ia kerap menyampaikan agar media cetak dihentikan dan mulai fokus dengan media online. Pesan yang disampaikannya pun mendapat respon dari berbagai kalangan. Tak terkecuali di identitas, pernyataan wartawan kawakan jebolan Pantau ini sulit untuk segera dilakukan.
            Diskusi mengenai hal ini bukan pertama kalinya.  Pernah, dua tahun silam di Graha Pena, diskusi serupa dilakukan. Namun, pada saat itu masih banyak pihak yang menilai bahwa media cetak akan bertahan beberapa puluh tahun lagi. Tentunya dengan pertimbangan, kebiasaan orang yang membaca media cetak, tak semua orang bisa mengakses internet tuk online, dan berbagai pemikiran lainnya.
            Membantah media cetak yang masih akan eksis, ia mengatakan, google telah memperkirakan di Indonesia ada 225 juta telepon genggam dan 80 persen bisa terkoneksi dengan internet. Data ini menjadi masa depan bagi media online. Menurutnya, industri media yang ada di Makassar segera melihat masa depan media cetak melalui perkembangan teknologi yang telah ada.
            Namun, hal yang seharusnya menjadi pertimbangan juga adalah tidak semua pemilik telepon genggam memiliki budget tuk setiap hari melakukan aktivitas online. Dan berapa persenkah orang Indonesia yang sering menikmati fasilitas internet melalui telepon genggam? Karena boleh jadi di Indonesia, orang memiliki Handphone, namun pemanfaatannya lebih rutin ke aktivitas menelpon dan mengirim pesan pendek.
               Usul untuk segera menghentikan media cetak terbilang sulit. Boleh dikata, pemilik industri media cetak akan berpikir panjang. Tentu kerugian besar akan dialami oleh pemilik modal. Belum lagi, pendapatan iklan yang menjadi pertimbangan dan alat cetak yang harganya tidak murah. Dan ketika semua itu ditiadakan, kepala pendonor modal akan pusing seketika.
            Pertanyaan besar adalah tiba-tiba Andreas Harsono menyarankan hal ini. Padahal, semua orang tahu wacana ini sudah berkali-kali diperdebatkan. Bukan hal baru lagi di industri media. Dan hasilnya, beberapa pihak berpendapat media online dapat mendukung media cetak.  Ini tak terlepas dari pemilik modal yang melihat peluang bisnis yang masih bagus dari media cetak. Jadi, bagi mereka keduanya (online dan cetak) sama-sama menguntungkan, jadilah keduanya diajalankan.
            Media kampus pun seperti itu. Hadirnya digitalisasi tak serta merta membuat cetak dihentikan. Keberadaan media Online dan cetak akan saling mendukung. Kini, perkembangan media berada dalam masa transisi. Dari masa cetak ke online butuh proses dan masa transisi ini sedang dimanfaatkan tuk menikmati keunggulan masa media cetak yang disinyalir akan berakhir.
            Semakin beragam jenis media tuk belajar menulis lebih baik. Media cetak mengajarkan pembaca tuk teliti. Dibanding layar handphone atau monitor komputer, seseorang lebih tahan berlama-lama membaca koran. Penulis akan merasakan tanggung jawab yang besar jika tulisannya lebih diperhatikan dan dibaca dengan seksama. Berbeda dengan online yang mengedepankan kecepatan update dan tentunya kecepatan membaca oleh user.
            Media apapun jenisnya, selama masih ada sekelompok orang yang menikmati sajian informasinya, masih dapat dijadikan alternatif. Bagi media kampus, cetak tak menjanjikan dari segi keuntungan, berbeda dengan media mainstream yang melihatnya dari perspektif industri. Tapi, lebih dari itu, dengan hadirnya cetak dan dibantu dengan online, semakin beragam wadah tuk belajar menulis dan menuangkan ide-ide seksi, lebih baik.

Kesetiaan Metropolis

Saya terkekeh mendengar kisahnya. Ia seorang playboy, namun tak tahu menyentuh hati seorang wanita dengan romantisme pujian. Tiba-tiba saya pribadi kebingungan. Lantas apa yang membuatnya begitu memesona di hadapan wanita, bila ia tak pandai merayu.
Dia sudah berpacaran dengan banyak wanita, tapi menenangkan satu wanita yang sedang bersedih dia tak mampu. Ia memilih tuk meninggalkan dan menghindarinya. Karena ia yakin semuanya akan baik-baik saja keesokan harinya. Dan memang benar, kekasihnya sudah merasa baikan dan menyapanya lagi dengan senyuman. Tak lagi mempersoalkan mengapa kemarin ia menangis dengan sedihnya.
Ia memang seorang playboy. Potensi tuk disukai oleh banyak wanita dimilikinya. Ia inginkan atau tidak, tetap saja ia selalu memesona oleh wanita-wanita disekelilingnya. Dan tentu saja, kekasih-yah kekasih yang ia proklamirkan risih dengan kondisi ini. Rasa takut kehilangan membuatnya possesive. Dan kekasihnya mulai mendikte ketika  tak lagi mulai percaya dengan kesucian cinta mereka. Dalam beberapa kesempatan, dia-rekan saya si playboy-mengecewakan kekasihnya dengan bermain cinta dengan wanita lain.
Heran melihat dia tak bisa memberikan kehangatan dan rasa aman bagi kekasihnya. Ia tak dapat menjadi tempat berlindung bagi kekasihnya-orang yang seharusnya ia cintai dan kasihi. Alasannya, ia tak ingin mendengar kalimat menyeramkan dan kasar dari bibir seorang wanita ketika ia menenangkan wanita. Menurutnya, ketika menenangkan wanita, ia kerap dimuntahi kalimat tak menyenangkan dan hal itu bisa membuatnya sedih. Ternyata dia belum memahami esensi mencintai dan dicintai. Selain itu dia juga belum tahu bagaimana perlakuan agar wanita bisa merasa aman disampingnya. Yang dipikirannya adalah bagaimana ia menjaga agar perasaannya tidak sakit. Padahal, ia tak tahu bahwa kekasihnya menangkup rasa sakit yang luar biasa yang sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu.
Apakah konsep kesetiaan yang digunakan tuk lelaki semacam ini adalah kesetiaan metropolis? Seperti konsep kesetiaan luna maya kepada ariel peterpan. Walau ia tahu mereka berdua bermain cinta dengan pasangan yang lain, mereka tetap saling setia dengan beralasan bahwa seperti inilah konsep kesetiaan mereka. Mencintai dengan melakukan pemakluman terhadap kondisi diluar kehendak mereka.
Si playboy-rekan saya-kerap mengatakan, wanita yang menghampiri saya. Mereka yang menggandeng tangan dan kerap memanggil nama saya dengan nada agak seronok. Dan ia berargumen itu bukan kesalahannya. Karena dirinya pun tak menginginkan hal itu, seperti ariel dan luna maya yang tak menginginkan kondisi seperti itu. Alibinya terbilang kuat, jadi yang harus lebih kuat adalah orang yang berada di sampingnya. Kuat menahan semua kabar, hingga melihat dengan mata telanjang ia bermain cinta dengan wanita lain.
Awalnya saya menganggap rekan saya itu, hanya ingin dikata. Merasa disukai oleh banyak wanita. Memang, ia termasuk lelaki yang memiliki daya tarik. Lalu kenapa ia tak memilih wanita yang mengejar-ngejarnya saja. Memilih wanita polos dengan konsep cinta dan kesetian lama, hanya membuatnya kekasihnya menjadi korban kesetiaan.