Sejak di bangku Sekolah Dasar, batinku selalu bergejolak. Bertanya-tanya
mengapa semua anak-anak harus sekolah. Padahal dengan bermain sepuasnya dengan
alam adalah hal yang lebih dari cukup. Sejak kecil, saya tak pernah memahami
mengapa kami harus belajar membaca, menghitung dan berbagai aktivitas belajar
lainnya. Yang saya tahu dari proses belajar itu hanyalah teman-teman pintar dan
mendapatkan rangking atau juara kelas. Benak diriku yang masih kecil saat itu,
masa bodoh dengan juara dan sebagainya. Karena Saya yang begitu kecil lebih
menyenangi bermain dengan alam dan lingkungan sekitarku (lingkungan pasar).
Sepulang sekolah saya memilih bermain. Berjalan sepuasnya mengelilingi Kota
kecilku. Tak lupa saya selalu menyempatkan berjalan-jalan dengan kaki telanjang
menuju pusat penjualan sayur. Melihat tanaman-tanaman kecil yang tumbuh di
bawah para pedagang sayur membuatku merasa tak sabaran. Diriku yang Mungil ini
pun segera mencari bekas tempat sabun colek dan mengisinya dengan tanah.
Sungguh, saya dengan wajahku yang kumal ini telaten mencabuti tanaman-tanaman
kecil (bibit tomat, lombok, semangka) dan kemudian saya memindahkannya dalam
wadah bekas sabun itu.
Tanpa mengingat apa itu matematika, bahasa indonesia dan sebagainya, setiap
hari saya hanya fokus pada tanaman-tanaman itu. Saya yang kecil, mulai bergegas
menanamnya satu persatu. Hingga akhirnya tomat kecil berbuah, lombok biji,
semangka hingga pepaya ku berbuah. Sangat senang rasanya.
Saya pada saat itu dianggap paling bodoh. Ketika semua anak-anak sibuk
dengan ujian dan mengejar rangking, diriku malah tak mengerti apa-apa mengenai
belajar yang baik seperti apa. Malah membaca pun sangat sulit. Mengapa tidak,
diriku yang sewaktu kecil adalah yang bebas dengan berbagai petualangan kecil.
Seseorang menjadi pintar atau tidak pintar itu perkara seberapa terang
lenteranya (baca: guru) bisa mengarahkan jalan yang dituju. Saya menyadari
bahwa sewaktu kecil, saya belum menemukan guru yang mau memperhatikan dan
memahami apa yang saya butuhkan di kala itu. Menjadi sosok yang pintar itu
mudah. Semua orang bisa menjadi pintar bila ia mau berusaha belajar dengan
rajin. Namun, menjadi bijaksana itulah yang susah. Tidak semua orang bisa
memaknai dan merefleksikan sesuatu.
Sekolah jika hanya bertujuan membuat seseorang menjadi pintar, itu adalah
tujuan yang keliru. Seorang setelah menjadi pintar seharusnya beranjak dari
model pintarnya menuju sosok yang bijaksana, sosok yang mencintai
kebijaksanaan. Sosok yang berphiloshopia. Tentunya pintar saja tidak cukup,
namun pengalaman, emosional dan spiritual.